GuidePedia

0
Jakarta (4/9) - Sekretaris Bidang Ekonomi Keuangan, Industri, Teknologi dan Lingkungan Hidup (Ekuintek-LH) DPP PKS Handi Risza
mengatakan saat ini Indonesia belum bisa mengambil manfaat dari pelemahan rupiah, untuk mendorong kinerja ekspor nasional. Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS saat ini telah menembus ambang batas psikologisnya, sebesar Rp14.800. Kondisi ini akan semakin terus berlanjut, jika Turki dan Argentina terus terperosok dalam krisis ekonomi.
"Defisit neraca perdagangan masih mengalami defisit. Pada bulan Juli 2018, defisit neraca perdagangan Indonesia mencapai US$2,03 miliar sehingga secara kumulatif defisit neraca perdagangan sampai Juli 2018 sudah lebih dari US$3 miliar. Jika tidak ada kebijakan yang diambil Pemerintah, diperkirakan angka ini akan terus bertambah," kata Handi di DPP PKS Jakarta Selatan, Selasa (4/9/2108).
Saat ini, kata dia, nilai ekspor Indonesia memang mengalami kenaikan. Nilai ekspor Indonesia pada Juli 2018 mencapai US$18,27%. Jika dibandingkan dengan periode yang sama pada 2017, nilai ekspor Indonesia pada Juli 2018 naik 19,33%. Jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, nilai ekspor Indonesia ini mengalami peningkatan 25,19% yang terdiri dari kenaikan ekspor non-migas sebesar 31,18% dan penurunan ekspor migas sebesar 15,06%.
Di sisi lain, kenaikan nilai impor terus mengalami peningkatan, bahkan lebih tinggi dari ekspor. Data pada bulan Juli 2018 menunjukkan, Impor mengalami kenaikan yang sangat signifikan. Bila dibandingkan dengan periode yang sama pada 2017, nilai impor Indonesia naik 31,56%. Kenaikan nilai impor ini akan terlihat jauh lebih besar lagi jika dibandingkan dengan bulan sebelumya (mtm). Bila dibandingkan dengan Juni, nilai impor Indonesia naik 62,17% yang terdiri dari kenaikan impor migas 22% dan non migas 71%. Kenaikan impor tersebut tidak hanya disebabkan oleh pelemahan nilai tukar rupiah, tetapi juga akibat volume impor yang juga mengalami kenaikan sangat besar yaitu sekitar 51% dibanding satu bulan sebelumnya. Artinya permintaan terhadap barang Impor makin tinggi.
"Akibatnya kondisi neraca perdagangan terus tergerus. Bahkan kondisi ini telah dialami dalam beberapa tahun terakhir, semenjak tidak adanya kebijakan industri yang kuat. Bahkan boleh dikatakan kita mengalami deindrustrialisasi," kata Caleg DPR RI Dapil Sumbar 1 itu.
Oleh sebab itu, lanjut dia, tidak ada jalan lain bagi pemerintah selain membuat strategi yang akan mengefektifkan menguatkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan menghilangkan defisit neraca perdagangan melalui peningkatan ekspor.
Semenjak lemahnya kebijakan industri nasional, tidak berorientasi kepada ekspor, telah berdampak terhadap pertumbuhan ekspor Indonesia yang bisa dikatakan lamban. Bahkan 16 paket kebijakan yang sudah dikeluarkan Pemerintah kurang efektif untuk mendorong ekspor. Pemerintahan sepertinya lebih condong pada kebijakan ekonomi yang berorientasi pada pembatasan impor. Dikhawatirkan kebijakan yang berorientasi pada pembatasan impor justru akan menimbulkan inefisiensi pasar yang berdampak pada daya saing produk dalam negeri yang rendah.
"Kebijakan terakhir pemerintah juga terlihat akan memperlakukan pembatasan impor. Jika kita memiliki industri dalam negeri yang kuat maka kebijakan ini mungkin akan membantu, tetapi jika tidak didukung oleh industri yang kuat maka dikhawatirkan justru akan berdampak terhadap perekonomian nasional. Berbeda dengan China yang memiliki industri yang kuat dan murah sehingga siap menghadapi perang dagang (trade war)," ungkap dia.
Memang tidak mudah, menurutnya, tetapi dalam beberapa waktu ke depan, pemerintah seharusnya lebih memilih kebijakan yang berorientasi kepada pengembangan ekspor. Penguatan kebijakan industri, dengan melakukan pembangunan sektor industri dan perdagangan diarahkan pada pengembangan produk yang berorientasi pasar ekspor, sehingga diharapkan akan bisa mengurangi defisit perdagangan, bahkan juga akan memperkuat fundamental ekonomi nasional di masa yang akan datang.

Sumber : pks.id

Posting Komentar

 
Top